[Al-Islam 647] Saat ini, tak
satu pun parpol, baik yang nasionalis maupun agamis, bersih dari korupsi.
Terseretnya yang agamis untuk terlibat kasus korupsi mengisyaratkan, bahwa
begitu masuk dalam sistem politik yang ada, orang yang semula baik dan bersih
akan cenderung menjadi buruk dan korup.
Demokrasi: Pemangsa
Kebaikan
Sistem demokrasi
sering diklaim sebagai pilihan terbaik. Jika benar, tentu siapa pun yang masuk
ke dalamnya akan cenderung menjadi lebih baik. Namun fakta berbicara
sebaliknya. Siapa pun yang masuk ke dalam sistemnya akan cenderung menjadi
buruk atau korup. Itu artinya, sistem demokrasi adalah sistem yang buruk. Di
dalam sistem demokrasi sekarang ini, hanya mereka yang berusaha keras menjaga
kebersihan diri terus menerus yang bisa terhindar dari pengaruh buruk itu.
Hanya saja, karena berada di lingkungan sistem politik yang buruk, orang yang
baik itu pada akhirnya hanya akan berujung pada dua kemungkinan, terlempar dari
arena atau karena terdesak akhirnya terpaksa terlarut dalam suasana yang buruk
itu dan menjadi buruk serta korup.
Demokrasi Sistem yang
Korup
Demokrasi asasnya
sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan, politik dan negara. Faktor
iman dan takwa dipinggirkan. Hilanglah pengendali internal dalam diri orang
yang bisa mencegahnya berbuat buruk. Selain itu, standar iman dan takwa
diabaikan. Yang ada akhirnya standar manfaat yang subyektif menurut pandangan
masing-masing. Konsekuensi logisnya muncul pragmatisme dan perilaku transaksional.
Demokrasi selain
memiliki pilar kebebasan dan jaminan terhadap kebebasan yang melahirkan
berbagai kerusakan, juga memiliki pilar kedaulatan rakyat. Rakyatlah yang
membuat hukum dan perundang-undangan. Prakteknya, rakyat memilih wakilnya
secara periodik untuk menjalankan kekuasaan legislatif itu. Asumsinya para
wakil itu akan membuat hukum dan undang-undang sesuai kehendak rakyat dan demi
kepentingan rakyat. Demokrasi juga memiliki pilar kekuasaan di tangan rakyat di
mana rakyat memilih penguasa baik pusat maupun daerah secara periodik untuk
jangka waktu tertentu.
Masalahnya, untuk bisa
menjadi wakil rakyat atau penguasa butuh dana besar. Wakil Ketua DPR, Pramono
Anung, dalam penelitian untuk disertasi doktoralnya mendapati fakta, untuk
Pemilu paling sedikit caleg mengeluarkan dana minimal Rp 600 juta. Ada juga
yang menghabiskan dana hingga Rp 6 miliar. Biaya itu dari Pemilu ke Pemilu
cenderung meningkat. Untuk Pemilu 2014 mendatang biaya pencalegkan pasti
menyentuh angka miliaran.
Begitu pula untuk menjadi
penguasa, juga butuh dana besar. Di AS, kampiunnya demokrasi, dalam Pemilu
lalu, biaya kampanye Obama konon habis minimal 800 juta USD (sekitar Rp 7,2
triliun). Saingannya, Mitt Romney juga kurang lebih sama.
Di Indonesia juga
tidak jauh beda. Banyak diungkap, untuk jadi bupati/walikota butuh dana puluhan
miliar. Untuk jadi gubernur, dana yang dibutuhkan lebih besar lagi. Untuk
pilkada Jabar pada bulan lalu misalnya, dengan jumlah 5.953 desa, jika kampanye
di tiap desa rata-rata butuh minimal Rp 25 juta maka tiap calon butuh dana
minimal Rp 148,8 miliar.
Bahkan pasangan
Sukarwo dan Saifullah dalam Pilkada Jawa Timur pada tahun 2008 lalu, secara
resmi menyatakan menghabiskan dana Rp 1,3 triliun. Bila untuk pencalonan
gubernur saja dihabiskan dana segitu besar, untuk pencalonan presiden tentu
lebih besar lagi. Disebut-sebut paling sedikit sekitar Rp 1,5 triliun.Dana
sebesar itu tentu tidak mungkin semuanya berasal dari kantong calon sendiri. Di
AS, hampir 80% dana sebanyak itu disumbang oleh para pengusaha. Di Indonesia
tidaklah jauh berbeda. Hal itu membawa implikasi yang berbahaya.
Pertama, hukum dan peraturan
produk wakil rakyat lebih mengutamakan kepentingan pemodal. Contoh di AS, pada
2010, industri tembakau dipelopori oleh Philip Morris, R. J. Reynolds
Tobacco Company, and Lorillard Tobacco Co menghabiskan dana 16.6 juta US$
untuk melobi Kongres. Mereka ikut mensponsori regulasi tembakau di AS. Sebagian
dari dana itu dipakai anggota Kongres dalam Pemilu mereka. Tujuannya agar
regulasi tembakau tidak terlalu ketat. Akhirnya pemerintah AS pun bersikap
mendua dalam regulasi tembakau, sebab tidak mau kehilangan pemasukan dari
industri tembakau sekitar 27 juta US$ pertahun. Di Indonesia pun sama,
peraturan perundangan lebih menguntungkan pemodal. Hal itu tampak pada UU
Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Pangan dan puluhan UU lainnya.
Kedua, kebijakan pemerintah
(penguasa) lebih berpihak kepada pemodal. Hal itu sebagai kompensasi atas modal
yang diberikan. Contoh di AS, New York Times (9/6/2012) menurunkan
bukti telah terjadi kolusi antara pemerintah Obama dengan perusahaan farmasi di
AS seperti Big Pharma pada tahun 2009. Dari bocoran email diketahui bahwa Obama
menyetujui permintaan perusahaan-perusahaan farmasi untuk tidak menurunkan
harga obat-obatan. Imbalannya, industri farmasi akan memberikan dana hingga 80
juta US$ untuk membantu program kesehatan pemerintah yang dinamakan Obamacare.
Sementara di Indonesia, kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada pemodal
tampak diantaranya dalam kebijakan privatisasi migas, privatisasi kesehatan dan
pendidikan, pemberian izin yang mengabaikan amdal, pengabaian atas transportasi
publik, dan sebaliknya terus memberikan insentif kepada perusahaan otomotif,
pemberian berbagai insentif kepada pengusaha dan kebijakan lainnya. Juga tampak
dalam berbagai proyek yang sudah diatur agar jatuh ke tangan pengusaha
tertentu.
Ketiga, penguasa dan
politisi memperdagangkan kebijakan atau melakukan korupsi, kolusi dan
manipulasi. Hal itu selain untuk mengembalikan dana yang dikeluarkan, juga
untuk memupuk modal untuk proses politik berikutnya. Terungkapnya kasus mafia
anggaran, suap untuk mendapatkan ijin usaha, misalnya perkebunan, dan banyaknya
politisi dan kepala daerah yang terjerat korupsi adalah sebagian bukti nyatanya.
Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Djoehermansyah Djohan, mengatakan, sejak 2004
lalu total kepala daerah yang tersangkut kasus hukum mencapai 290 orang.
Mayoritas yaitu 187 orang atau sekitar 86,2 persen kepala daerah tersangkut
kasus korupsi. Ia merinci, “Gubernur 20 orang, Wakil Gubernur 7 Orang, Bupati
156 orang, Wakil Bupati 46 orang, Wali Kota 41 orang dan Wakil Wali Kota 20
orang, totalnya 290 orang. Sementara DPRD 431 orang, DPRD Provinsi 2.545.”
(lihat, okezone.com, 19/12/2012).Di samping semua itu, demokrasi dengan
kapitalismenya dalam hal ekonomi terbukti gagal mewujudkan pemerataan
kesejahteraan. Sebaliknya jurang kesenjangan dalam hal kekayaan justru makin
menganga lebar. Kekayaan lebih dikuasi oleh segelintir kecil orang.
Islam Menumpas Keburukan,
Menumbuhkan Kebaikan
Semua itu berbeda
dengan sistem Islam dengan syariah Islamiyah. Sistem Islam akan memupus
keburukan dan menumbuhsuburkan kebaikan.
Dalam Islam,
kedaulatan hanya ada ditangan syara’, bukan ditangan manusia.
] إِنِ
الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ [
Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah. (TQS al-An’am [6]: 57)
Hukum dan peraturan
dibuat dengan mengacu kepada al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas.
Dengan itu peluang jual beli peraturan tertutup. Hukum dan peraturan sulit
direkayasa demi kepentingan politisi dan penguasa. Jika itu terjadi, bisa
diujikan kepada Mahkamah Mazhalim untuk dibatalkan ketika tidak bersumber
kepada atau menyalahi al-Quran dan as-Sunnah.
Dalam Islam, kekuasaan
di tangan rakyat. Rakyat yang memilih khalifah. Dalam hal pemilihan Khalifah,
mungkin saja dilakukan kampanye. Namun waktunya yang sangat singkat, membuat
tidak perlu dana besar. Tidak ada pembatasan masa jabatan baik untuk Khalifah
maupun penguasa daerah. Khalifah tetap menjabat selama berpegang kepada syariah
dan tidak ditentukan oleh persetujuan Majelis Ummat. Sementara penguasa daerah
(gubernur dan amil – penguasa daerah setingkat kabupaten/kota) ditunjuk oleh
Khalifah. Masa jabatannya ditentukan oleh khalifah di samping oleh keridhaan
dan penerimaan penduduk daerah itu dan sejauh mana berpegang kepada syariah.
Dengan begitu tidak perlu dana besar dan meminimalkan peluang terjadinya
korupsi.
Khalifah, penguasa
daerah dan aparatur adalah manusia biasa, bisa saja tergoda dan akhirnya
melakukan korupsi. Namun dengan sistem Islam, korupsi itu sifatnya by
person, dilakukan orang per orang. Itu relatif lebih mudah diatasi.
Berbeda dalam demokrasi, korupsi terjadi by sistem dan
bersifat sistemik karena sistem memberi peluang bahkan menjadi faktor
penyebabnya. Untuk mengatasi korupsi by person itu, sistem Islam menempuh lima
langkah.
Pertama, menanamkan iman dan
takwa. Dengan itu, pejabat dan rakyat akan tercegah melakukan kejahatan
termasuk korupsi.
Kedua, sistem penggajian
yang layak, sehingga tidak ada alasan untuk berlaku korup.
Ketiga, teladan dari
pemimpin, sehingga tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan
dan penindakan pun tidak sulit dilakukan.
Keempat, pembuktian terbalik.
Harta pejabat dan aparat dicatat. Jika ada pertambahan harta yang tak wajar,
yang bersangkutan harus membuktikannya diperoleh secara sah. Jika tidak bisa,
maka disita sebagian atau seluruhnya dan dimasukkan ke kas negara.
Kelima, hukuman yang bisa
memberi efek jera. Hukuman itu bisa berupa tasyhir (pewartaan),
denda, penjara yang lama bahkan bisa sampai hukuman mati, sesuai dengan tingkat
dan dampak kejahatannya.
Wahai Kaum Muslimin
Sistem Islam akan
memupus keburukan dan sebaliknya menumbuhsuburkan kebaikan. Hal itu hanya
terealisir jika syariah Islam diterapkan secara total di bawah sistem Khilafah.
Karenanya harus segera kita wujudkan sebagai pelaksanaan kewajiban dari Allah
dan bukti keimanan kita. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar:
Dari jumlah orang
miskin 28,59 juta orang, 73,5 persennya tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
akan pangan (republika, 4/3/2013).
1.
Ironis, padahal negeri ini subur dan kekayaan alamnya berlimpah
ruah. Itu karena distribusi kekayaan yang buruk akibat penerapan kapitalisme.
2.
Kekayaan negeri sebagian besar dikuasai oleh segelintir orang
dan mengalir demi kemakmuran asing
3.
Hanya sistem Islam dengan sistem ekonominya yang mampu
mendistribusikan kekayaan negeri secara adil dan merata kepada seluruh rakyat.
Dalam Islam, negara juga wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok di antaranya
pangan. Dengan itu masalah pangan bisa tuntas di atasi.
0 comments:
Post a Comment